Rabu, 12 Maret 2008

Feminisme Dalam Cerita Pendek "Nocturno" Karya Seno Gumira Ajidarma

A. Kritik Sastra Feminisme
Ketika seorang pengarang dalam menghadapi karya sastra, ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengapresiasikan karyanya. Pendekatan tersebut bertujuan untuk proses komunikasi antara pengarang dengan karyanya jelas tahapan-tahapannya sesuai kehendak pengarang. Salah satu pendekatan dalam kritik sastra adalah pendekatan feminisme.
Feminisme secara etimologis berasal dari kata femine (woman), berarti perempuan (tunggal), yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial. Tujuan feminisme adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian luas, feminis merupakan gerakan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan, baik dalam bidang politik, ekonomi, dan kehidupan sosial.
Sedangkan secara etimologi, feminisme diartikan sebagai gerakan perempuan yang bertujuan untuk mendapatkan kedudukan dan derajat yang sama baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum, seperti apa yang didapatkan lelaki.
Feminisme dalam dunia sastra dapat dijadikan suatu kritik sastra yang membangun. Kolodny menyatakan bahwa kritik sastra feminis membeberkan perempuan menurut stereotip seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra kita, dan juga menunjukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah (digunakan untuk) mengkaji tulisan perempuan secara tidak adil, tidak peka. Sementara itu, mengartikan kritik sastra feminisme adalah cara menafsirkan suatu teks sebagai salah satu cara dari berbagai konteks untuk menafsirkan teks yang berkenaan dengan masalah perempuan.
Sisi pembaca yang berkait dengan feminisme mengarah pada optimalisasi peran wanita dalam posisinya sebagai apresiator, analisator, dan kritikus dalam perbincangan sastra. Selain itu yang termasuk dalam bahasan ini ialah visi pembaca feminis ketika berhadapan dengan karya sastra.
B. Sastra dan Feminisme
Dalam hubungan ini, terdapat persamaan konsep dan cara menentukan bukti bahwa antara sastra dan feminisme mempunyai keterikatan.
Pada hakikatnya sastra bersumber dari kenyataan hidup dalam masyarakat. Pengarang dengan karyanya mengungkapkan nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dalam menafsirkan makna hidup dan hakikat hidup. Wellek & Warren menerangkan bahwa apa-apa yang terungkap dalam karya sastra adalah sublimasi kejiwaan manusia atau sastrawan.
Ketika masuk dalam hubungan sastra dengan perempuan, maka dihadapkan pada beberapa komponen. Pertama tentang pengarang perempuan. Kedua tentang tokoh perempuan yang ditulis pengarang lelaki. Ketiga adalah tentang pembaca perempuan.
Untuk mencari bacaan feminisme dalam sastra harus melihat tokoh perempuan dalam karya sastra yang ditulis pengarang perempuan. Pengarang perempuan dalam mengarang sastra akan lebih mencerminkan perilaku feminisme seperti Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, sedangkan pengarang lelaki akan menampakkan kekuatannya dan menginferiorkan kaum perempuan, seperti Pengakuan Periyem oleh Linus. Walaupun ada sebagian kecil yang bersifat membela perempuan, seperti novel S. T. Alisyahbana yang berjudul Layar Terkembang, dianggap tidak terlalu mencerminkan hati nurani perempuan secara murni, karena pengarang menulis sosok perempuan dari sudut pria, hal inilah yang mendasari munculnya feminisme dalam karya sastra.
Selain itu, diskriminasi terhadap perempuan yang melatarbelakangi munculnya kritik sastra feminisme juga banyak tercermin pada karya sastra. Para pengarang yang didominasi lelaki, seolah menganggap semua pembaca adalah lelaki, yang isinya cenderung menempatkan posisi perempuan di bawah lelaki. Bertolak dari hal itu, maka salah satu upaya adalah menjadikan perempuan sebagai bahan studi. Maka muncullah gender studies.
Pada umumnya, karya sastra yang menampilkan tokoh wanita dapat dikaji dengan menggunakan konsep feminisme. Baik cerita rekaan, lakon, maupun sajak, mungkin untuk diteliti dengan menggunkan konsep feminisme asal saja ada tokoh wanita di dalam karya sastra tersebut. Peneliti akan mudah menerapkan konsep feminisme jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh lelaki. Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan.
C. Feminisme Tokoh “Wanita itu” dalam Cerita Pendek Nocturno Diambil Dari Buku Kumpulan Cerpen Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta Karya Seno Gumira Ajidarma
Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta merupakan suatu buku kumpulan cerpen yang semuanya mengisahkan cerita cinta yang absrud. Dalam buku kumpulan cerpen ini, Seno Gumira Ajidarma merekam peristiwa cinta yang menghinggapi pasangan di luar pernikahan. Seperti seorang gadis dengan suami orang, pasangan sejenis, atau seorang istri lelaki lain yang berselingkuh dengan suami wanita lain. Kisah yang diangkat dalam tulisan ini adalah Nocturno, sebuah cerpen yang mengisahkan percintaan manusia modern. Kisah cinta dengan gaya elegan dan tidak murahan dengan konflik tajam di dalamnya. Kata nocturno dalam bahasa Indonesia bisa berarti “pada malam hari”
Cerpen ini terkait dengan pendekatan feminisme karena berhubungan dengan konteks jaman percintaan pada saat itu. Semua mengarah pada satu tujuan yang sama. Yaitu, keterbelengguan yang dialami oleh wanita. Semua konsep dibiarkan hidup dan tidak terikat oleh tatanan aturan. Semua ekspresi dari perasaan dan pikiran penulis terlihat lugas dan dijiwai penuh oleh penulis. Penulis menyeret kita ke sejumlah persoalan yang belum ada penyelesaiannya hingga sekarang. Konflik cinta yang absrud. Cerpen memang tidak memberi peluang untuk menjabarkan cerita secara lebih detail. Semua kejadian dibuat pendek dan berbobot dalam penyajiannya.
Dalam segi alur contohnya. Cerpen ini mendamparkan para tokohnya dalam momen peristiwa tertentu. Lalu para tokoh itu berkembang pada momen berikutnya seraya kembali ke masa lalu. Semua alur dipersingkat dan disederhanakan.
Dalam istilah karya sastra sering digunakan kata tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan atau karakter dan karakteristik, yang menunjukkan pada pengertian yang sama. Tokoh merupakan alat bagi seorang pengarang untuk menuangkan gagasan-gagasannya.
Pelaku yang mendukung peristiwa sehingga mampu menjalin suatu cerita disebut tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh disebut penokohan. Oleh karena itu, penokohan merupakan unsur cerita yang tidak dapat ditiadakan. Melalui penokohan, seorang pembaca dapat dengan jelas menangkap wujud manusia atau makhluk lain yang perikehidupannya sedang diceritakan pengarang.
Dalam cerpen Nocturno hanya terdapat dua tokoh, yaitu “Wanita itu” dan “Lelaki itu”. Tetapi ada tokoh “Seseorang” dari masa lalunya yang menjadi pelengkap dalam cerpen itu. “Seseorang” disini selalu mengisi bayangannya dengan dialog-dialognya yang “Wanita itu” ingat sampai sekarang.
“Wanita itu” dalam cerpen Nocturno digambarkan sosok tokoh yang abstrak. Tidak jelas darimana asalnya dan siapa dia. Cerpen ini hanya menceritakan satu peristiwa tentang kegelisahan “Wanita itu” pada suatu malam dan seorang diri di dalam kamar. Yang selalu bicara pada diri sendiri tanpa ada lawan bicara.
Sekilas dalam cerpen, “Wanita itu” terikat dalam cinta yang terlarang, sebuah cinta yang entah darimana datangnya. Suatu kegelisahan tentang kehilangan kekasih. Disini terlihat konsep wanita sebagai objek dalam ranah patrialkal. Kelemahan dari sisi kewanitaannya muncul. Yang merindukan seseorang yang entah siapa dan sebuah cinta yang tak pernah didapatnya. Tetapi oleh Seno segera diberontak dengan konsep wanita bisa mandiri tanpa kekasih. Sosok wanita modern yang mampu mengendalikan perasaan hatinya. Terlihat dalam kutipan:

“Kemanakah kekasihku, kemanakah kekasihku”
“Tak ada cinta hari ini. Jangan mimpi”
Deru angin, hempasan ombak, pekik camar, semua itu memberinya perasan rindu. Namun, siapakah yang mesti dirindukannya?

Selanjutnya, tokoh “Wanita itu” seakan menjadi tegas dan mendeskriminasikan kaum lelaki yang juga bisa berada di bawah wanita. Seakan wanita memanfaatkan keobjektivannya untuk menjadi sebuah subjek. Dalam cerpen terlihat pada kutipan dialog:

“ Engkau seorang wanita yang tak pernah mengenal lambaian tangan,” kata seseorang padanya, suatu ketika,……

Tetapi, dibalik ketangguhannya, Seno melukiskan sosok “Wanita itu” berjiwa besar. Sesuperiornya seorang wanita, ia akan kembali pada hati nuraninya yang lembut. Tetap ada keterbatasan feminis sebagai manusia yang ingin mempertahankan zona nyamannya. Terlihat dalam kutipan:

“Semesta itu luasnya tak terbatas, seperti hatimu,” ujar seseorang yang lain, pada suatu ketika lain, di suatu tempat lain……

Diatas terlihat jelas sisi kewanitaan yang muncul. Dialog “Semesta itu luasnya tak terbatas, seperti hatimu,” seakan mempunyai arti bahwa hati wanita mempunyai sisi kebaikan yang tak terhingga batasnya.
Seno juga menggarap eksistensi perempuan tidak lagi inferior melainkan superior. Kenyataan tersebut dipresentasikan melalui tokoh “Wanita itu” yang menegaskan bahwa kebebasan yang paling penting. Hal ini sejalan dengan pandangan feminisme bahwa kebebasan merupakan pilihan perempuan untuk tidak terikat pada sesuatu yang menjeratnya pada kondisi inferior. Keteguhan hati untuk menjalankan niatnya juga tampak dalam cerpen ini. Seperti pada kutipan:

“Sudahlah. Tidak ada gunanya. Aku akan segera berangkat, dan tidak akan pernah kembali lagi. Tidak usah sedih. Tidak ada yang patut disesali. Selamat tinggal, goodbye”
“Aku harus pergi,” kata wanita itu lagi, lagi-lagi pada dirinya sendiri, “aku harus pergi untuk sebuah mimpi”

Cerpen ini digarap juga dengan berbagai segi, antara lain Seno seakan mengisahkan adanya kelemahan peran wanita dalam cerpen ini. Dimana dia tidak bisa menjalankan keinginannya semula setelah muncul lelaki di hadapannya. Ketidakberdayaan ini dikaitkan dengan eksistensialis. Yang tidak dapat menolak secara total terhadap apa yang menyerang dirinya. Hal ini terlihat dalam:

Wanita itu seperti akan mengucapkan sesuatu, namun lelaki di atas tempat tidur itu memberinya isyarat untuk diam................

Dalam akhir cerita, Seno mengisahkan sosok “Wanita itu” tergulai dalam kehidupan hedonis. “Wanita itu” digambarkan sebagai tokoh yang haus akan nikmat dunia. Dimana dia rela menunda kepergiannya untuk menggapai mimpi demi menikmati cinta sesaat dari seorang tokoh “Lelaki”. Ketabuan yang membelenggu perempuan yang dibentuk oleh budaya patriarki seakan-akan dibongkar dalam pandangan wanita modern. Seperti dalam kutipan:

Wanita itu diam saja, duduk di tempat tidur dan membuka tali sepatunya dalam kegelapan. Barangkali malam itu ia akan menunda kepergiannya. Barangkali ia pun tak akan tahu: di luar, langit malam sudah penuh bintang.
Di dalam kamar, wanita itu tidak mendengarnya. Sayup-sayup sampai ke telinganya debur ombak, yang menghempas ke pantai malam.

Tokoh “Wanita itu” tetap menunjukkan sisi kefeminisannya meski muncul berbagai konflik batin di suatu waktu pada suatu malam itu. Cinta memang dapat membuat seorang wanita semakin menyadari keberadaannya di dunia ini. Tetapi semuanya tidak abadi. Seperti dalam kutipan:

Angin yang telah mengembara ke segenap penjuru bumi, masih berhembus dan berbisik, seperti mengingatkan, “Di dunia ini, tidak ada sesuatu pun yang tetap tinggal abadi”

D. Kesimpulan
Feminisme merupakan suatu pendekatan yang revolusioner dalam struktur sastra secara keseluruhan. Sisi feminisme dalam karya sastra bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah cerpen. Dalam analisis ini, Seno Gumira Ajidarma mencoba membangun falsafah feminisme pada tokoh “Wanita itu” dalam cerpen Nocturno yang diambil dari buku kumpulan cerpen Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta. Suatu analogi bahwa wanita mempunyai hak atas kewanitaannya untuk mengeksploitasi diri, cinta, dan seksualitasnya seperti yang dia inginkan. Wanita tidak perlu takut tentang dominasi lelaki yang sebenarnya bisa wanita balikkan bila wanita mampu menemukan subjektivitas dirinya.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Blog bagus dengan merah muda, manis, dan bergairah. Semoga blog ini terawat seperti orangnya. he.he.he.

suyatno
www.garduguru.blogspot.com

Anonim mengatakan...

tulisannya sapa ini aning????
ga mungkin tulisanmu.
ato nggak ini kerja kelompok ya???

r.a. hartyanto mengatakan...

Aningshh.... bloghnyahhh bagushhh...
semangatshhhh...

_adhishhh.._