Rabu, 12 Maret 2008

Feminisme Dalam Cerita Pendek "Nocturno" Karya Seno Gumira Ajidarma

A. Kritik Sastra Feminisme
Ketika seorang pengarang dalam menghadapi karya sastra, ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengapresiasikan karyanya. Pendekatan tersebut bertujuan untuk proses komunikasi antara pengarang dengan karyanya jelas tahapan-tahapannya sesuai kehendak pengarang. Salah satu pendekatan dalam kritik sastra adalah pendekatan feminisme.
Feminisme secara etimologis berasal dari kata femine (woman), berarti perempuan (tunggal), yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial. Tujuan feminisme adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian luas, feminis merupakan gerakan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan, baik dalam bidang politik, ekonomi, dan kehidupan sosial.
Sedangkan secara etimologi, feminisme diartikan sebagai gerakan perempuan yang bertujuan untuk mendapatkan kedudukan dan derajat yang sama baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum, seperti apa yang didapatkan lelaki.
Feminisme dalam dunia sastra dapat dijadikan suatu kritik sastra yang membangun. Kolodny menyatakan bahwa kritik sastra feminis membeberkan perempuan menurut stereotip seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra kita, dan juga menunjukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah (digunakan untuk) mengkaji tulisan perempuan secara tidak adil, tidak peka. Sementara itu, mengartikan kritik sastra feminisme adalah cara menafsirkan suatu teks sebagai salah satu cara dari berbagai konteks untuk menafsirkan teks yang berkenaan dengan masalah perempuan.
Sisi pembaca yang berkait dengan feminisme mengarah pada optimalisasi peran wanita dalam posisinya sebagai apresiator, analisator, dan kritikus dalam perbincangan sastra. Selain itu yang termasuk dalam bahasan ini ialah visi pembaca feminis ketika berhadapan dengan karya sastra.
B. Sastra dan Feminisme
Dalam hubungan ini, terdapat persamaan konsep dan cara menentukan bukti bahwa antara sastra dan feminisme mempunyai keterikatan.
Pada hakikatnya sastra bersumber dari kenyataan hidup dalam masyarakat. Pengarang dengan karyanya mengungkapkan nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dalam menafsirkan makna hidup dan hakikat hidup. Wellek & Warren menerangkan bahwa apa-apa yang terungkap dalam karya sastra adalah sublimasi kejiwaan manusia atau sastrawan.
Ketika masuk dalam hubungan sastra dengan perempuan, maka dihadapkan pada beberapa komponen. Pertama tentang pengarang perempuan. Kedua tentang tokoh perempuan yang ditulis pengarang lelaki. Ketiga adalah tentang pembaca perempuan.
Untuk mencari bacaan feminisme dalam sastra harus melihat tokoh perempuan dalam karya sastra yang ditulis pengarang perempuan. Pengarang perempuan dalam mengarang sastra akan lebih mencerminkan perilaku feminisme seperti Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, sedangkan pengarang lelaki akan menampakkan kekuatannya dan menginferiorkan kaum perempuan, seperti Pengakuan Periyem oleh Linus. Walaupun ada sebagian kecil yang bersifat membela perempuan, seperti novel S. T. Alisyahbana yang berjudul Layar Terkembang, dianggap tidak terlalu mencerminkan hati nurani perempuan secara murni, karena pengarang menulis sosok perempuan dari sudut pria, hal inilah yang mendasari munculnya feminisme dalam karya sastra.
Selain itu, diskriminasi terhadap perempuan yang melatarbelakangi munculnya kritik sastra feminisme juga banyak tercermin pada karya sastra. Para pengarang yang didominasi lelaki, seolah menganggap semua pembaca adalah lelaki, yang isinya cenderung menempatkan posisi perempuan di bawah lelaki. Bertolak dari hal itu, maka salah satu upaya adalah menjadikan perempuan sebagai bahan studi. Maka muncullah gender studies.
Pada umumnya, karya sastra yang menampilkan tokoh wanita dapat dikaji dengan menggunakan konsep feminisme. Baik cerita rekaan, lakon, maupun sajak, mungkin untuk diteliti dengan menggunkan konsep feminisme asal saja ada tokoh wanita di dalam karya sastra tersebut. Peneliti akan mudah menerapkan konsep feminisme jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh lelaki. Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan.
C. Feminisme Tokoh “Wanita itu” dalam Cerita Pendek Nocturno Diambil Dari Buku Kumpulan Cerpen Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta Karya Seno Gumira Ajidarma
Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta merupakan suatu buku kumpulan cerpen yang semuanya mengisahkan cerita cinta yang absrud. Dalam buku kumpulan cerpen ini, Seno Gumira Ajidarma merekam peristiwa cinta yang menghinggapi pasangan di luar pernikahan. Seperti seorang gadis dengan suami orang, pasangan sejenis, atau seorang istri lelaki lain yang berselingkuh dengan suami wanita lain. Kisah yang diangkat dalam tulisan ini adalah Nocturno, sebuah cerpen yang mengisahkan percintaan manusia modern. Kisah cinta dengan gaya elegan dan tidak murahan dengan konflik tajam di dalamnya. Kata nocturno dalam bahasa Indonesia bisa berarti “pada malam hari”
Cerpen ini terkait dengan pendekatan feminisme karena berhubungan dengan konteks jaman percintaan pada saat itu. Semua mengarah pada satu tujuan yang sama. Yaitu, keterbelengguan yang dialami oleh wanita. Semua konsep dibiarkan hidup dan tidak terikat oleh tatanan aturan. Semua ekspresi dari perasaan dan pikiran penulis terlihat lugas dan dijiwai penuh oleh penulis. Penulis menyeret kita ke sejumlah persoalan yang belum ada penyelesaiannya hingga sekarang. Konflik cinta yang absrud. Cerpen memang tidak memberi peluang untuk menjabarkan cerita secara lebih detail. Semua kejadian dibuat pendek dan berbobot dalam penyajiannya.
Dalam segi alur contohnya. Cerpen ini mendamparkan para tokohnya dalam momen peristiwa tertentu. Lalu para tokoh itu berkembang pada momen berikutnya seraya kembali ke masa lalu. Semua alur dipersingkat dan disederhanakan.
Dalam istilah karya sastra sering digunakan kata tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan atau karakter dan karakteristik, yang menunjukkan pada pengertian yang sama. Tokoh merupakan alat bagi seorang pengarang untuk menuangkan gagasan-gagasannya.
Pelaku yang mendukung peristiwa sehingga mampu menjalin suatu cerita disebut tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh disebut penokohan. Oleh karena itu, penokohan merupakan unsur cerita yang tidak dapat ditiadakan. Melalui penokohan, seorang pembaca dapat dengan jelas menangkap wujud manusia atau makhluk lain yang perikehidupannya sedang diceritakan pengarang.
Dalam cerpen Nocturno hanya terdapat dua tokoh, yaitu “Wanita itu” dan “Lelaki itu”. Tetapi ada tokoh “Seseorang” dari masa lalunya yang menjadi pelengkap dalam cerpen itu. “Seseorang” disini selalu mengisi bayangannya dengan dialog-dialognya yang “Wanita itu” ingat sampai sekarang.
“Wanita itu” dalam cerpen Nocturno digambarkan sosok tokoh yang abstrak. Tidak jelas darimana asalnya dan siapa dia. Cerpen ini hanya menceritakan satu peristiwa tentang kegelisahan “Wanita itu” pada suatu malam dan seorang diri di dalam kamar. Yang selalu bicara pada diri sendiri tanpa ada lawan bicara.
Sekilas dalam cerpen, “Wanita itu” terikat dalam cinta yang terlarang, sebuah cinta yang entah darimana datangnya. Suatu kegelisahan tentang kehilangan kekasih. Disini terlihat konsep wanita sebagai objek dalam ranah patrialkal. Kelemahan dari sisi kewanitaannya muncul. Yang merindukan seseorang yang entah siapa dan sebuah cinta yang tak pernah didapatnya. Tetapi oleh Seno segera diberontak dengan konsep wanita bisa mandiri tanpa kekasih. Sosok wanita modern yang mampu mengendalikan perasaan hatinya. Terlihat dalam kutipan:

“Kemanakah kekasihku, kemanakah kekasihku”
“Tak ada cinta hari ini. Jangan mimpi”
Deru angin, hempasan ombak, pekik camar, semua itu memberinya perasan rindu. Namun, siapakah yang mesti dirindukannya?

Selanjutnya, tokoh “Wanita itu” seakan menjadi tegas dan mendeskriminasikan kaum lelaki yang juga bisa berada di bawah wanita. Seakan wanita memanfaatkan keobjektivannya untuk menjadi sebuah subjek. Dalam cerpen terlihat pada kutipan dialog:

“ Engkau seorang wanita yang tak pernah mengenal lambaian tangan,” kata seseorang padanya, suatu ketika,……

Tetapi, dibalik ketangguhannya, Seno melukiskan sosok “Wanita itu” berjiwa besar. Sesuperiornya seorang wanita, ia akan kembali pada hati nuraninya yang lembut. Tetap ada keterbatasan feminis sebagai manusia yang ingin mempertahankan zona nyamannya. Terlihat dalam kutipan:

“Semesta itu luasnya tak terbatas, seperti hatimu,” ujar seseorang yang lain, pada suatu ketika lain, di suatu tempat lain……

Diatas terlihat jelas sisi kewanitaan yang muncul. Dialog “Semesta itu luasnya tak terbatas, seperti hatimu,” seakan mempunyai arti bahwa hati wanita mempunyai sisi kebaikan yang tak terhingga batasnya.
Seno juga menggarap eksistensi perempuan tidak lagi inferior melainkan superior. Kenyataan tersebut dipresentasikan melalui tokoh “Wanita itu” yang menegaskan bahwa kebebasan yang paling penting. Hal ini sejalan dengan pandangan feminisme bahwa kebebasan merupakan pilihan perempuan untuk tidak terikat pada sesuatu yang menjeratnya pada kondisi inferior. Keteguhan hati untuk menjalankan niatnya juga tampak dalam cerpen ini. Seperti pada kutipan:

“Sudahlah. Tidak ada gunanya. Aku akan segera berangkat, dan tidak akan pernah kembali lagi. Tidak usah sedih. Tidak ada yang patut disesali. Selamat tinggal, goodbye”
“Aku harus pergi,” kata wanita itu lagi, lagi-lagi pada dirinya sendiri, “aku harus pergi untuk sebuah mimpi”

Cerpen ini digarap juga dengan berbagai segi, antara lain Seno seakan mengisahkan adanya kelemahan peran wanita dalam cerpen ini. Dimana dia tidak bisa menjalankan keinginannya semula setelah muncul lelaki di hadapannya. Ketidakberdayaan ini dikaitkan dengan eksistensialis. Yang tidak dapat menolak secara total terhadap apa yang menyerang dirinya. Hal ini terlihat dalam:

Wanita itu seperti akan mengucapkan sesuatu, namun lelaki di atas tempat tidur itu memberinya isyarat untuk diam................

Dalam akhir cerita, Seno mengisahkan sosok “Wanita itu” tergulai dalam kehidupan hedonis. “Wanita itu” digambarkan sebagai tokoh yang haus akan nikmat dunia. Dimana dia rela menunda kepergiannya untuk menggapai mimpi demi menikmati cinta sesaat dari seorang tokoh “Lelaki”. Ketabuan yang membelenggu perempuan yang dibentuk oleh budaya patriarki seakan-akan dibongkar dalam pandangan wanita modern. Seperti dalam kutipan:

Wanita itu diam saja, duduk di tempat tidur dan membuka tali sepatunya dalam kegelapan. Barangkali malam itu ia akan menunda kepergiannya. Barangkali ia pun tak akan tahu: di luar, langit malam sudah penuh bintang.
Di dalam kamar, wanita itu tidak mendengarnya. Sayup-sayup sampai ke telinganya debur ombak, yang menghempas ke pantai malam.

Tokoh “Wanita itu” tetap menunjukkan sisi kefeminisannya meski muncul berbagai konflik batin di suatu waktu pada suatu malam itu. Cinta memang dapat membuat seorang wanita semakin menyadari keberadaannya di dunia ini. Tetapi semuanya tidak abadi. Seperti dalam kutipan:

Angin yang telah mengembara ke segenap penjuru bumi, masih berhembus dan berbisik, seperti mengingatkan, “Di dunia ini, tidak ada sesuatu pun yang tetap tinggal abadi”

D. Kesimpulan
Feminisme merupakan suatu pendekatan yang revolusioner dalam struktur sastra secara keseluruhan. Sisi feminisme dalam karya sastra bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah cerpen. Dalam analisis ini, Seno Gumira Ajidarma mencoba membangun falsafah feminisme pada tokoh “Wanita itu” dalam cerpen Nocturno yang diambil dari buku kumpulan cerpen Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta. Suatu analogi bahwa wanita mempunyai hak atas kewanitaannya untuk mengeksploitasi diri, cinta, dan seksualitasnya seperti yang dia inginkan. Wanita tidak perlu takut tentang dominasi lelaki yang sebenarnya bisa wanita balikkan bila wanita mampu menemukan subjektivitas dirinya.

Analisis Wacana Dialog Dalam Sandiwara Kejahatan Membalas Dendam Babak Kedua Adegan Pertama Karya Idroes

Bahasa sebagai alat percakapan manusia merupakan kegiatan sosial yang mencerminkan pengaruh totalitas dari proses pengaruh mempengaruhi dari faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya suatu masyarakat. Proses saling mempengaruhi inilah yang akhirnya mencerminkan bahasa sebagai alat percakapan masyarakat dan menentukan sistem nyata masyarakat dalam bidang komunikasi.
Bahasa sering digunakan dalam suatu komunikasi yang disebut tuturan yang akhirnya berlanjut ke dalam percakapan. Kemampuan bertutur atau menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan sosial yang disebut kemampuan komunikatif. Kemampuan seseorang haruslah dapat memilih bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dengan situasinya dan memilih ungkapan yang sesuai dengan tingkah laku dan situasi sehingga dapat menafsirkan makna konteks dan situasional. Percakapan itu dapat tertuang dalam suatu wacana yang menimbulkan berbagai arti dan fungsi sendiri yang biasa disebut analisis percakapan.
Analisis percakapan ialah pembahasan percakapan atas unsur-unsur pembentuknya, baik verbal maupun non verbal. Menurut Richard ada sepuluh unsur struktur pembentukan percakapan, antara lain: Kerjasama partisipan, Tindak tutur, Penggalan pasangan percakapan, Pembukaan dan penutupan percakapan, Kesempatan berbicara, Sifat rangkaian tuturan, Keberlangsungan percakapan, Topik percakapan, Tata bahasa percakapan, Analisis alih kode.
Dari naskah sandiwara Kejahatan Membalas Dendam babak kedua adegan pertama karya Idroes, dapat dianalis tentang adanya suatu unsur kerjasama partisipan dan tindak tutur dalam pembentukan percakapan, antara lain:
A. Kerjasama Partisipan
Kerjasama partisipan ialah keterlibatan partisipan dalam membentuk percakapan lengkap dengan unsur yang dibutuhkannya. Menurut Grice, unsur-unsurnya terbagi atas beberapa percakapan (maksim). Dalam naskah sandiwara Kejahatan Membalas Dendam babak kedua adegan pertama karya Idroes, dapat ditemukan beberapa kerjasama partisipan, yaitu:
a. Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas ialah kerjasama berbentuk jawaban yang belum pasti
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
- Perempuan Tua : Pergi? Kemana?
Satilawati : Katanya jauh dari sini. Jauh dari dunia ramai……
Dalam data diatas, jawaban tidak adanya kepastian. Tersirat makna bahwa mungkin Ishak pergi jauh atau mungkin masih berada dekat dalam lingkungan itu. Hal ini dapat terlihat dari kata “Katanya…” yang mengartikan timbul dari pernyataan orang ketiga.
b. Maksim Kualitas
Maksim kualitas ialah kerjasama dalam bentuk jawaban yang sesuai.
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
- Perempuan Tua : Ayahmu tidak kelihatan sehari-hari ini, Satilawati?
Satilawati : Ayah berkurung saja sehari-harian ini dalam kamarnya…
- Perempuan Tua : Ishak itu siapa?
Satilawati : Temanku, Ia dulu sering kesini.
- Satilawati : Darimana Nenek tahu?
Perempuan Tua : Dari ayahmu
Dalam data diatas, jawaban dijelaskan oleh lawan bicara secara pasti dan tepat tentang pertanyaan yang diajukan sehingga tidak menimbulkan keraguan Si Penanya.
c. Maksim Relasi
Maksim relasi ialah kerjasama dalam bentuk jawaban yang belum sesungguhnya, bergantung pada interpretasi penanya.
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
Perempuan Tua : Memang ia seorang yang rajin.
Satilawati : Tapi sejak mata orang Indonesia terbuka untuk kesusasteraan baru, ia tercecer……
Dalam data diatas, mengandung dua interpretasi yang berbeda. Bisa saja memang Ia (Suksoro) benar-benar sudah tidak dihargai, atau masih mempunyai kedudukan sebagai pengarang yang berbakat walau jaman sudah berubah.
d. Maksim Cara
Maksim cara ialah kerjasama berbentuk jawaban yang tidak langsung menjawab pertanyaan karena kebiasaan.
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
Perempuan Tua : Banyakkah ia mendapat duit dengan karangannya itu?
Satilawati : Rumah ini buktinya.
Dalam data diatas, jawaban tidak langsung mengarah pada fokus pertanyaan, tetapi lebih kepada perwujudannya. Tersirat jawaban bahwa uang yang dihasilkan Suksoro dari jerih payahnya sebagai pengarang sangatlah banyak. Tidak saja untuk menghidupi anaknya, Satilawati, tetapi juga bisa untuk membangun rumah yang megah.

B. Tindak Tutur (Speech Act)
Tindak tutur ialah segala sesuatu yang kita lakukan dalam rangka berbicara. Keragaman tindak tutur dapat dikasifikasikan berdasarkan jenis, sifat hubungannya, dan hakikat pemakaian. Pengklasifikasian itu terbagi lagi menjadi beberapa spesifikasi. Dalam naskah sandiwara Kejahatan Membalas Dendam babak kedua adegan pertama karya Idroes, dapat ditemukan beberapa pengklasifikasian tindak tutur, antara lain:
a. Tindak Tutur Berdasarkan Jenis
a.1. Tindak Tutur Representatif
Tindak tutur representatif ialah tindak dari penutur yang berfungsi menetapkan atau menjelaskan sesuatu itu seperti apa adanya.
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
- Satilawati :Dan sekarang kami telah bertukar cincin kembali. Juga dengan
diam-diam.

- Satilawati :Ayah berkurung saja sehari-harian ini dalam kamarnya. Mengarang, ……
Dalam data diatas, terdapat pernyataan yang sesungguhnya, sesuai dengan keadaan yang telah terjadi atau baru saja terjadi.
a.2. Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif ialah tuturan yang berfungsi mendorong pendengar untuk melakukan sesuatu seperti mengusulkan, memohon, mendesak, dan sebagainya.
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
- Satilawati : Cobalah sekali ini, Nek. Untuk kebahagiaan cucu nenek juga.
- Perempuan Tua : Tapi aku tidak tahu dimana ia. Bagaimana aku bisa menolong.
Satilawati : Bisa, Nek. Jika Nenek mau,…….
Pernyataan diatas berfungsi untuk mendorong Perempuan Tua melakukan sesuatu yang Satilawati inginkan. Satilawati berusaha mendesak dan memohon Perempuan Tua untuk membantunya.

a.3. Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif ialah tindak yang mencakup perasaan dan sikap, seperti tindak meminta maaf, berterimakasih, atau memuji pendengar.
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
- Satilawati : Aku tahu Nenek bisa menolong kami. Nenek adalah seorang dukun yang
masyhur.
Pernyataan diatas bermaksud memuji Si Perempuan Tua tentang kehebatan yang dimilikinya.
a.4. Tindak Tutur Deklaratif
Tindak tutur deklaratif ialah tuturan yang berfungsi memantapkan, membenarkan sesuatu tindak tutur lain.
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
- Perempuan Tua : Keluarkanlah isi hatimu kepadaku, Satilawati. Anggaplah aku ini
sebagai ibumu sendiri.
Satilawati : memang Nenek sebagai kupandang, tempat aku mencurahkan
perasaan hatiku
Dalam dialog diatas dapat digambarkan bahwa Satilawati memantapkan dan membenarkan anggapan Perempuan Tua tentang perlakuan sebagai ibu dan anak.
b. Tindak Tutur Berdasarkan Sifat Hubungan
b.1 Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi ialah tindak tutur yang dilakukan pembicara berhubungan dengan perkataan sesuatu seperti memutuskan, mendoakan, merestui, atau menuntut.
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
- Perempuan Tua : ……. Kalau betul itu, biarlah ku
nasehatkan engkau mencari yang lain saja.
Dalam penggalan dialog diatas, Si Perempuan Tua menuntut secara halus kepada Satilawati agar meninggalkan Ishak.
b.2 Tindak Tutur Perlokusi
Tindak tutur perlokusi ialah tindak tutur yang mengakibatkan lawan bicara bertindak sesuatu.
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
- Perempuan Tua : (terkejut) Gila turunan? …… kalau betul itu, biarlah
kunasehatkan
engkau mencari yang lain saja.
Satilawati : (putus asa) Kalau Nenek tidak bisa, apa boleh buat. Aku akan
mencari
bahagia dalam pekerjaan sebagai jururawat.
(Satilawati meminum kopinya sampai habis, lalu pergi, lemah seluruh tubuhnya)
Dalam dialog tersebut dapat ditarik hubungan perlokusi yang jelas bahwa setelah Satilawati mendapat penegasan dari Perempuan Tua kalau Perempuan Tua tidak bisa membantu Satilawati, maka Satilawati putus asa dan pergi meninggalkan Perempuan Tua.
c. Tindak Tutur Berdasarkan Hakikat Pemakaian
c.1. Tindak Tutur Penghormatan
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
- Satilawati : …… Karangan seperti itu dapat kuselesaikan satu hari satu. Tapi itu
sama
dengan meracuni kesusasteraan baru Indonesia……
Penggalan dialog diatas mempunyai arti bahwa masih ada penghormatan terhadap karya sastra baru Indonesia.
c.2. Tindak Tutur Tidak Menghiraukan
Dalam penggalan sandiwara diatas, dapat diambil data:
- Satilawati : Dan sekarang kami telah bertukar cincin kembali. Juga dengan
diam-diam.

Tindak tutur diatas berarti Satilawati melakukan tindakan diam-diam tanpa menghiraukan Sukroso dan orang lain.



Alih Kode Dalam Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP

Berbahasa merupakan aktifitas urgensif manusia. Berbahasa merupakan sarana bagi individu manusia untuk berkomunikasi. Dengan berkomunikasi individu yang satu ingin menyampaikan segala sesuatu yang terpendam dalam benak dan perasaannya, sedangkan individu lainnya menjadi mitra komunikasi berusaha menangkap dan memahami yang menjadi maksud komunikator. Keadaan semacam ini berlangsung setiap saat.
Dalam penggunaannya sebagai alat komunikasi yang digunakan antar individu yang berbeda suku, bahasa Indonesia tidaklah bebas dari pengaruh bahasa-bahasa kedua yang dimiliki dan dikuasai oleh pemakainya. Seseorang yang menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar pada suatu waktu baik itu disengaja atau tidak, akan memunculkan istilah yang ada dalam bahasa daerahnya. Seseorang yang memakai dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain berarti ia melakukan kedwibahasaan (bilingualisme). Dalam Nababan (1993:27) diterangkan bahwa bilingualisme adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain.
Kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain secara tidak langsung berkaitan dengan keadaan masyarakat bahasa yang tidak hanya menggunakan satu ragam bahasa dalam setiap kesempatan berbicara. Adanya variasi bahasa terlihat pada pemakaian bahasa menggunakan berbagai macam bahasa. Seorang individu tidak akan pernah bisa menggunakan satu bahasa secara murni. Individu yang berasal dari suku Jawa dalam menggunakan bahasa Indonesia akan mendapat pengaruh dari bahasa Jawa. Hal tersebut merupakan gejala alih kode.
Dalam proses belajar mengajar di kelas SMP merupakan suatu kelompok masyarakat yang bilingual. Kegiatan ini tanpa disadari antara murid dan guru melakukan interaksi alih kode dalam berkomunikasi. Hal ini dilakukan untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran yang optimal. Dalam melakukan pengajaran, seorang guru harus bisa menyampaikan materi dengan bahasa yang komunikatif sehingga dapat diterima oleh murid. Guru juga terkadang merasa cocok menggunakan bahasa daerah atau juga bahasa asing untuk menyampaikan suatu maksud pengajaran agar dimengerti oleh murid.
Penelitian ini berfokus pada penelitian bahasa alih kode yang dilakukan guru dan murid dalam proses pembelajaran di SMP. Penelitian yang bertopik alih kode memang sudah sering dilakukan tetapi pada umumnya objek penelitian tersebut adalah penyiar radio, pedagang, dan ada yang memilih objek yang sama yaitu guru dan murid.
Dengan ditemukannya berbagai bahasa alih kode, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau ke bahasa Inggris, yang masih dilakukan guru dan murid dalam proses pembelajaran maka peneliti mengangkat hal ini sebagai objek penelitian. Selain itu, metode ceramah yang masih digunakan guru dalam proses pembelajaran di SMP memungkinkan ditemukannya berbagai bahasa alih kode.
Batasan penelitian ini hanya berfokus pada bahasa alih kode yang dilakukan guru dan murid dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia di SMP berlangsung. Ruang lingkup masalah penelitian hanya seputar alih kode dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia di SMP. Dan analisis hanya dilakukan ketika kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia di SMP berlangsung dengan subyek penelitian seorang guru bahasa Indonesia dan siswa SMP.
A. Kedwibahasaan dan Kemultibahasaan
Gejala alih kode muncul dalam masyarakat yang berdwibahasaan dan kemulitibahassan. Oleh karena itu, pembahasan tentang alih kode tidak akan lepas dari masalah bilingualisme atau kedwibahasaan dan multilingualisme atau kemultibahasaan.
a. Kedwibahasaan
Kedwibahasaan yaitu berkenaan dengan dua bahasa atau dua kode bahasa. Chaer dan Agustina (2004:84) menyatakan bahwa secara umum bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Nababan (1993:27) secara sederhana mengemukakan bahwa bilingualisme merupakan kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain. Jika itu berpikir tentang kesanggupan seorang dwibahasawan dalam memakai dua bahasa, maka orang itu disebut bilingualitas. Jadi, orang yang “berdwibahasa” mencakup pengertian kebiasaan memakai dua bahasa.
Dalam kedwibahasaan, digunakannya dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan beberapa masalah. Masalah-masalah tersebut adalah:
1. Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (bahasa Indonesia) daripada B1 (bahasa Ibu) sehingga dia dapat disebut seorang bilingual
2. Kapan seseorang bilingual menggunakan B1 atau B2
3. Sejauh mana B1 dapat mempengaruhi B2 atau sebaliknya
Semua masalah yang muncul tergantung pada sitausi dan kondisi serta penutur itu sendiri dalam menggunakan kedua bahasa tersebut.
b. Kemultibahasaan
Kemultibahasaan pada umumnya dihubungkan dengan masyarakat multilingual, masyarakat yang anggota-anggotanya berkemampuan atau biasa menggunakan lebih dari satu bahasa bila berkomunikasi antar sesama anggota masyarakat. Kemultibahasaan adalah digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. (Chaer dan Agustina, 2004:112).
Apabila seseorang mempunyai B1 bahasa Jawa, B2 adalah bahasa Indonesia dan B3 orang tersebut menguasai bahasa lain seperti bahasa Inggris maka orang tersebut dapat dikatakan multibahasa biarpun hanya tiga saja bahasa yang dikuasainya. Agar dapat disebut kemultibahasaan, orang tersebut harus menguasai lebih dari dua bahasa dalam berinteraksi dnegan lingkungan sekitar. Akan tetapi hal ini jarang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lebih banyak menggunakan satu atau dua bahasa saja untuk berinteraksi dengan orang lain. Jadi kemultibahasaan dalam hal ini tidak penting, yang penting adalah kedwibahasaan.
B. Alih Kode (Code Switching)
a. Pengertian Alih Kode
Dalam masyarakat yang bilingual dan multilingual sering terjadi kontak bahasa yang dapat memunculkan gejala alih kode. Bahasa yang dipilih bergantung pada banyak faktor, antara lain lawan bicara, topik, dan suasana (Sumarsono, 2003:201).
Alih kode pada dasarnya merupakan peristiwa peralihan penggunaan satu kode ke kode lain. Peristiwa kode ini merupakan salah satu aspek saling ketergantungan bahasa dalam masyarakat yang bilingual. Penutur bahasa dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual ini menjadi tidak mungkin menggunakan satu bahasa secara mutlak dan murni tanpa memanfaatkan sedikit bahasa atau unsur lainnya.
Alih kode adalah penggunaan bahasa lain atau variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena ada partisipan lain (KBBI, 1997:25). Sedangkan Appel dalam Chaer dan Agustina (2004:141) mengemukakan bahwa alih kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Alih kode ini sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi hubungan anatar pembicara, dan pendengar.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah peristiwa yang terjadi pada masyarakat tutur baik bilingualisme atau multilingualisme yang menunjukkan adanya peralihan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain atau dari variasi satu ke variasi lainnya yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai tujuan tertentu.
b. Wujud Alih Kode
Menurut Rahadi dalam penelitian Nailul Mazidah (2004:16), wujud alih kode dapat berupa:
1. Kode yang berwujud bahasa Jawa
Dari peristiwa tutur yang dapat dijangkau dalam peralihan dapat dikatakan penggunaan kode dalam bahasa Jawa sangat dominan.
2. Kode yang berwujud bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional ternyata dapat digunakan hampir segala bidang kegiatan di negara kita. Dalam kegiatan proses pembelajaran pun bahasa Indonesia cukup dominan.
3. Kode yang berwujud bahasa Asing
Dalam kegiatan proses pembelajaran, penggunaan bahasa Asing juga sering muncul sekalipun sifatnya sangat insidental.
4. Kode yang berwujud sistem tingkat tutur
Biasanya tingkat tutur ini yang digunakan berkisar antara tingkat tutur ngoko dan krama.
5. Kode yang berwujud ragam
Jenis ragam komunikasi lengkap dan ragam komunikasi ringkas tidak saja ditemukan dalam bahasa Jawa tetapi juga dalam bahasa Indonesia.
c. Faktor Penyebab Alih Kode
Menurut Fishman dalam Chaer dan Agustina (2004:108) menyatakan bahwa secara umum penyebab alih kode adalah:
1. Pembicara atau penutur, seorang pembicara atau penutur sering kali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan atau manfaat” dari tindakannya
2. Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena lawan tutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tutur itu
3. Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa sama dengan bahasa yang digunakan penutur atau lawan tutur dapat menyebabkan alih kode
4. Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan alih kode. Situasi formal seperti rapat, perkuliahan
5. Berubahnya topik pembicaraan
C. Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia
a. Pengertian Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pada hakikatnya proses pembelajaran bahasa Indonesia merupakan suatu program untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005). Menurut Suyatno (2004:8), dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia harus bertumpu ke siswa sebagai subjek belajar, karena yang belajar dalam kelas adalah siswa bukan guru.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), proses pembelajaran bahasa Indonesia tidak lagi bersifat tradisional, melainkan modern. Guru tidak lagi menjelaskan dari awal hingga akhir materi pembelajaran, tetapi diharapkan siswa lebih aktif dan kreatif. Guru hanya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran.
Karakterisitik dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia adalah harus dapat menguasai 4 macam ketrampilan berbahasa yaitu, membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan (Depdiknas, 2005). Dalam hal ini siswa yang lebih aktif bukan guru.
b. Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP
Siswa SMP merupakan pemula yang mempelajari bahasa Indonesia sebagai materi pelajaran yang detail. Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia SMP sekarang menggunakan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
KTSP merupakan seperangkat rencana dan pengetahuan tentang kompetensi yang dilakukan dengan cara penyampaiannya disesuaikan dengan daerah/sekitar. Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia SMP ini, hal pokok yang menjadi acuan yaitu standar kompetensi, yang merupakan seperangkat kompetensi yang dilakukan secara nasional dan diwujudkan dengan hasil belajar peserta didik. Standar kompetensi SMP yaitu:
1. Mendengarkan
Standar kompetensi disini siswa diajak untuk berlatih mendengarkan, membedakan pelafalan berbagai bunyi suara atau bahasa, dan memahami berbagai materi yang dibagi menjadi beberapa standar kompetensi. Siswa juga diberi tugas untuk memperdalam materi yang diajarkan oleh guru secara maksimal sehingga siswa benar-benar mengerti.
2. Berbicara
Dalam hal ini siswa harus mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasaan secara lisan, serta menceritakan kembali berbagai macam bentuk materi pelajaran.
3. Membaca
Dalam prose pembelajaran membaca ini, guru mengoptimalkan siswa agar bisa membaca dan memahami berbagai macam bacaan baik dari buku maupun selebaran.
4. Menulis
Standar kompetensi pada ketrampilan menulis yaitu siswa diharapkan mampu menulis beberapa kalimat dengan tulisan balok atau tegak bersambung secara rapi. Selain itu, siswa diajak untuk menulis berbagai macam materi pelajaran bahasa Indonesia seperti menulis cerita pengalaman pribadi, menulis surat, dll.
D. Bahasa Guru dalam Proses Pembelajaran Bahasa Indonesia
Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa yang digunakan guru adalah bahasa Indonesia. Tidak diperkenankan seorang guru dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia menggunakan bahasa daerah atau bahasa yang lain selain bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005). Tetapi lepas dari dalam konteks tersebut, terkadang guru melakukan alih kode yang bertujuan untuk memudahkan siswa dalam mengartikan maksud materi yang diajarkan oleh guru.
Ada semacam hierarki dalam kebahasaan yang dimulai dari “bahasa” sebagai level yang paling atas disusul dengan kode yang berdiri dari variasi-variasi serta gaya dan register sebagai subkodenya. Perbedaan register juga ada antar bahasa yang digunakan dalam aktivitas lain.
Satu situasi sosial yang melibatkan salah satu partisipasinya melakukan tindakan aktif untuk memonitoring sistem komunikasi adalah pengajaran di kelas. Memonitoring semacam itu bisa terdiri dari mengajar atau bagian dari mengajar. Oleh karena itu, guru secara konstan melakukan jenis-jenis kontrol yang berbeda pada percakapan siswa di kelas.
Dalam belajar, kemampuan siswa berbeda-beda. Begitu juga dengan gaya belajar siswa. Untuk mengatasi hal itu, guru memberi pengertian siswa dan masuk ke dalam kepribadian siswa dengan mendekati hal psikologis mereka. Hal itu dapat dilakukan dengan komunikasi menggunakan bahasa yang biasa dipakai oleh siswa sehingga tercipta suatu imbal balik yang signifikan antara guru dan murid. Selain itu, proses belajar mengajar akan mengalami suatu perkembangan.


DAFTAR PUSTAKA

Ardiana, Leo Indra, Kisyani Laksono. 2004. Bahan Pelatihan IND/E/22 Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Depdiknas.
Chaer, Abd dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdikbud. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. 1995. Kurikulum Pendidikan Dasar SLTP GBPP Bahasa Indonesia. Jakarta.
Moleong, Lexi J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: University Press.
Nababan, P.W.J., 1993. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Senin, 03 Maret 2008

HASTINAPURO GEGER

Malam ini mataku sulit untuk dipejamkan. Aku benar-benar gelisah. Gerakan tidurku tak karuan. Surat bersampul biru dari Abimayu masih saja aku genggam, sesekali aku ulangi membacanya. Entah sudah berapa kali mataku memelototi tulisan itu. Biarpun muak aku dipanggil raki1 oleh Abimanyu yang mengaku dirinya seorang raka2.


Raki Larasati kekasihku,

Satu minggu lagi aku ke Solo. Dan di atas peraduan berhiaskan mawar merah, akan aku hadirkan pelamin temanten untukmu. Kita akan manunggal sesuai amanat Romo. Tersenyumlah Larasati. Aku mencintaimu.

Raka Abimanyu


Surat itu memang singkat, tapi isinya laksana tsunami yang merampas asaku. Perjodohan ini tak kuasa aku tolak. Romo3 memang tidak pernah mengerti tentang aku. Berjuta alasan tak akan mengubah pandangan Romo tentang Abimanyu. Pria berusia empat tahun diatasku itu memang baik dan sederajat dengan keluargaku. Datang dari keturunan priyayi Jogjakarta dan sudah mempunyai jabatan manager director di salah satu perusahaan terkenal dengan ijasah doktor yang dimilikinya. Tapi untuk apa semua itu kalau memang aku tak cinta. Hatiku sudah tertambat pada laki-laki lain. Bukankah cinta itu adalah anugerah, tak peduli kasta dan tahta. Cinta hanya bermuara pada keikhlasan. Asal tahu dan bisa menjaga diri, semuanya beres. Begitulah yang aku yakini saat ini.

“Kamu belum tidur, Ndhuk4?” tiba-tiba suara Biyung5 mengagetkanku, segera aku selipkan surat itu di bawah bantal. Aku takut meresahkan hati Biyung.

“Belum Biyung, mungkin sebentar lagi” sahutku singkat.

“Tidurlah Ndhuk, sudah malam!” sambung Biyung seraya mengusap kepalaku lalu pergi meninggalkanku.

Sosok wanita yang melahirkanku itu memang tipe wanita yang khusus dilahirkan untuk bangsawan keraton seperti Romo. Tahunya hanya sabar, nerima ing pandhum6, dan mentaati suami. Dan entah kenapa sifat itu tidak menurun padaku. Aku tidak mau dibelenggu, disepelekan. Aku tidak ingin seperti tanah liat yang dengan mudah dibentuk oleh Romo.

Biyung tak bisa berbuat apa-apa tentang perjodohan ini. Kembali aku terngiang empat tahun silam ketika aku memutuskan untuk kuliah di Bandung. Semua perkataan Biyung tak ada artinya di hadapan Romo. “Kang Mas7, Diajeng8 ini tidak pernah minta lebih sama Kang Mas, tapi mbok ya tho sekarang turuti apa permintaan Larasati” kata Biyung saat itu. “Larasati itu puteri keraton, tidak sepantasnya dia keluar dari keraton Diajeng. Larasati tetap harus kuliah di Solo!” sahut Romo. “Tapi Kang Mas…” pinta Biyung memelas. “Sampun9 Diajeng. Sampun!! Sekali Larasati kuliah di Solo ya tetap di Solo!!” bentak Romo kasar. Akhirnya akupun kuliah di salah satu universitas ternama di Solo. Gelar sarjana ekonomi yang aku sandang sekarang pun atas pilihan Romo. Cita-citaku untuk jadi salah satu desainer terkenal melayang sudah.

Tak terasa aku menangis, “Aku kangen kamu” Hanya itu kata-kata dari hatiku yang bisa aku ungkap sekarang.

Aku mencoba untuk tidak merasakan ganjalan aneh pagi ini. Biarpun semakin hari luka itu semakin membengkak, tapi aku biarkan saja. Sebenarnya Romo bisa memberi dorongan padaku untuk menggelar jati diri, atau dengan sengaja Romo menjadikan diriku boneka? Yang bebas seenaknya dipermainkan. Kalau sudah bosan, mungkin berakhir di bak sampah.

Sugeng enjing10 Romo, Biyung!” sapaku seraya mengecup tangan mereka lalu mendorong salah satu kursi di meja makan.

“Iya, selamat pagi anakku sayang!” balas Biyung kemudian.

Meja makan ini sejak 23 tahun silam selalu saja sepi, sedikitpun tak pernah ada obrolan ringan menemaniku makan. Paling-paling hanya kata-kata minta tolong untuk mengambilkan makanan yang ada di dekatku atau kata-kata singkat lainnya.

“Ndhuk, setelah ini temui Romo di ruang baca” pinta Romo seraya mengambil secangkir kopi yang ada di hadapannya.

Inggih11 Romo” jawabku singkat. Ah, mungkin Romo mau menanyakan isi surat Abimanyu, pikirku. Ingin rasanya aku menolak, tapi aku lagi-lagi tak kuasa. Perintah Romo adalah sebuah titah12 yang tidak boleh dibantah. Seluruh penghuni Hastinapuro ini ada di genggaman Romo. Terkadang aku menyesali nasib yang ada padaku. Kenapa aku harus menjadi anak Romo, bukan anak orang biasa lainnya. Yang bebas berkeliaran kesana kemari tanpa harus dikekang oleh seribu peraturan.

Hari sudah sore ketika Mercedes Benz hitam ini berhenti pada salah satu rumah berdinding hijau muda di perumahan sederhana di Solo. Kuketuk pintu coklat itu setelah aku keluar dari mobil dan merapikan bajuku yang berantakan. Tak beberapa lama, keluar sosok perempuan muda berpakaian kaos oblong.

“Laras??? Ada angin apa elo kemari?” teriak perempuan itu kaget sambil memeriksa tubuhku seakan-akan aku baru saja terkena celaka. Tapi benar juga, batinku sekarang sedang tersiksa.

Please deh... Jangan sok mendramatisir gitu. Gue lagi suntuk nih” sahutku seraya masuk ke ruang tamu berukuran sekitar 3 x 4 meter itu.

“Gue pengen minggat13, Ven. Gue mau dikawinin” lanjutku.

“Hah??? Emangnya elo pikir mudah apa pergi dari keraton dengan status elo yang sekarang? Kehormatan orang tua elo juga ditaruh mana heh?”

“Pikiran gue buntu. Elo tahu sendirikan kalo gue cinta mati sama Coki!? Biar orang bilang gue ini edan14 gara-gara salah menaruh hati pada cowok yang nggak setaraf sama gue, gue rela. Asal gue bisa bersama Coki, apapun akan gue lakuin”

“Elo emang bener-bener gila! Please, open your heart my sweetie. Apa yang salah pada diri Abimanyu? Dia mencintai elo udah lama. Pengorbanannya hampir nggak terhitung buat ngedapetin hati elo, Laras. Sementara apa yang elo dapat dari Coki? Elo nggak akan bahagia sama cowok oportunis macam dia!”

“Stop! Gue kesini karna gue butuh ketenangan bukan omelan. Okey?”

Fine, gue ngerti derita elo gadis”

Suasanapun akhirnya berangsur melebur, kami terlibat pembicaraan yang cukup santai. Perempuan yang sebaya denganku itu memang baik. Kepadanyalah aku ceritakan keluh kesahku selama ini. Akupun tidak pernah ingat bagaimana awal mulaku bertemu dengan gadis manis ini. Dia memang bukan keturunan darah biru tapi hatinya melebihi orang dari keturunanku.

Rabu sore ini Abimanyu datang menepati janjinya. Ia mengenakan kemeja warna biru muda berbalut setelan jas hitam berhiaskan dasi bercorak garis-garis putih dan biru tua, sungguh perpaduan warna yang sejuk dan menarik. Rambutnya tersisir rapi dan padat sehingga terlihat jelas lekuk tengkuknya yang jenjang di salah satu bagian tubuhnya yang tegap dan kekar. Memang tak ada yang salah pada diri Abimanyu, perempuan manapun tidak akan menolak kehadirannya. Tapi tidak untuk aku karena aku tidak mencintainya. Dia sekarang terlihat asik ngobrol dengan Romo di pendopo15, entah apa yang dibicarakannya. Aku tidak peduli.

“Ndhuk Larasati, anakku sayang, kemarilah!” perintah Romo ketika menyadari aku sudah lama berdiri di daun pintu.

Inggih Romo” jawabku mengiyakan lalu berjalan menemui mereka.

“Kamu cantik sekali hari ini Larasati” puji Abimanyu ketika melihatku.

“Terima kasih atas pujiannya” sahutku singkat dengan ekspresi yang datar.

Romo pun pergi meninggalkan kami berdua. Tak lama kemudian, aku mengajak Abimanyu jalan-jalan keliling taman Hastinapuro. Terdengar kasak kusuk dari beberapa punggawa16 keraton yang membicarakan kami.

“Aku mohon, tolong tinggalkan aku” pintaku mengawali pembicaraan.

“Apa maksudmu Raki?” tanya Abimanyu kebingungan.

“Aku tidak mencintaimu, Abimanyu. Kamu tahu itu kan? Karena itu tolong lepaskan aku. Aku mencintai laki-laki lain. Aku mohon mengertilah”

“Tidak Raki Larasati sayang! Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku yakin cinta itu bisa dipupuk setelah kita hidup bersama. Tega sekali kamu berkata seperti itu sementara kurang satu bulan lagi kita naik pelaminan”

“Apa??” tiba-tiba saja kurasakan semacam kibasan kuat menghentak badanku. Aku ingin berteriak tapi tak bisa, aku harus menjaga sikapku. Dadaku sesak dan berkecamuk. Aku tidak menyangka pernikahan itu diadakan secepat ini tanpa persetujuanku. Romo memang benar-benar keterlaluan. Kenapa aku tidak diajak berunding soal ini, Romo anggap apa aku ini. Aku punya perasaan dan keinginan Romo. Tiba-tiba muncul rasa benciku kepada Romo tetapi akhirnya aku tepis juga perasaan itu. Biar bagaimanapun, beliau adalah seorang ayah yang harus aku hormati. Aku pun lari meninggalkan Abimanyu tanpa berkata apa-apa.

“Raki Larasati……..” teriak Abimanyu memanggilku dan aku lagi-lagi tidak peduli dengan ulahnya. Pandangan heran dari beberapa punggawa keraton juga tak aku hiraukan. Hatiku hancur berkeping-keping. Bayangan wajah Coki dan kenanganku ketika bersamanya memenuhi anganku. Tiba-tiba benda-benda di sekelilingku berputar-putar lalu gelap.

Lampu-lampu sudah dinyalakan. Hastinapuro malam ini disulap menjadi indah. Terlihat hiasan dekorasi dan rangkaian bunga-bunga segar dimana-mana. Di salah satu pojok ruangan berdiri megah sebuah panggung dengan gaya tradisional Jawa yang artistik. Di tengah-tengahnya terdapat beberapa singgasana berukiran gaya Jawa tradisional yang belum pernah aku lihat selama ini. Sementara itu, semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada gurau kecil, bisik-bisik, atau malah ada yang teriak-teriak kebingungan karena pekerjaannya belum selesai. Polesan warna-warni dan senyum bahagia menghiasi wajah semua orang malam ini. Kamarku pun juga berubah indah. Bau harum bunga cendana menusuk hidungku. Terdapat berpuluh-puluh mawar merah menghiasi tempat tidurku. Dindingnya pun sekarang berbalut hiasan kain dengan warna merah berselingkan kain batik17 yang lagi-lagi bergaya tradisional Jawa.

Aku duduk terpaku di depan cermin rias. Hari ini aku akan mengakhiri masa lajangku, aku akan segera menikah dengan laki-laki yang tidak aku cintai. Tidak, aku tidak akan menikah dengan Abimanyu. Aku ingin hidup bersama dengan kekasihku.

Sinar matahari pagi yang cerah menerobos lewat jendela kamar, menjamah tubuhku. Pagi ini aku benar-benar capek dengan seabrek rutinitasku tadi malam. Tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar.

"Good Morning, Miss. How are you? This is your order last night" sapa laki-laki kulit putih berseragam bell boy itu sambil menyerahkan koran Indonesian's Post yang aku pesan kemarin malam.

"I'm fine, Thank you very much" jawabku. Tak lupa aku merogoh saku piyamaku dan menyerahkan beberapa lembar money tips kepadanya.

Entah aku harus tertawa atau bersedih ketika melihat tulisan di halaman pertama koran itu. Disitu jelas tertulis "Hastinapuro Geger: Gusti Raden Ayu Larasati Dwi Kusumawardhani Minggat Pada Malam Pernikahannya".

Oh, maafkan puterimu ini Romo.


GLOSARI:

raki1 : salah satu panggilan sayang kepada perempuan Jawa

raka2 : salah satu panggilan sayang kepada laki-laki Jawa

romo3 : panggilan untuk Ayah di suku Jawa

ndhuk4 : panggilan untuk anak perempuan suku jawa

biyung5 : panggilan untuk ibu di kalangan suku jawa

nerima ing pandhum6 : menerima apa adanya (bhs. Jawa)

kang mas7 : salah satu panggilan kepada suami di suku Jawa

diajeng8 : salah satu panggilan kepada istri di suku Jawa

sampun9 : sudah (bhs. Jawa)

sugeng enjing10 : selamat pagi (bhs. Jawa)

inggih11 : iya (bhs. Jawa)

titah12 : perintah dari seorang raja

minggat13 : melarikan diri dari rumah (bhs. Jawa)

edan14 : gila (bhs. Jawa)

pendopo15 : teras, pelataran rumah untuk rumah joglo sesuai adat Jawa

punggawa16 : prajurit keraton Jawa

kain batik17 : kain bergambar dengan menerapkan bahan malam, asli dari suku Jawa

Peta Pemikiran Karl Marx (Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis)

Penulis: Andy Muawiyah Ramly
Penerbit:LkiS,Yogyakarta
Cetakan:Pertama,Juni2000
Tebal:195 + xiv halaman
Penerbit: Yogyakarta; LKiS

Buku yang ditulis oleh Andi Muawiyah Ramly ini sarat dengan beberapa teori tentang pemikiran Karl Marx. Teori sangat diperlukan untuk mempermudah pemahaman suatu objek penelitian. Tetapi pembicaraan mengenai teori dalam buku ini seolah-olah tumpang tindih sebab di satu pihak mementingkan aspek perkembangan teori-teori modern selama hampir satu abad.

Marxisme yang dianggap “momok” bagi sebagian besar orang menyebabkan mereka takut untuk mendalami tentang pemikiran Karlx Mark. Pada awal pembahasan, penulis menolak anggapan bahwa seorang yang mempelajari Marxisme otomatis menjadi seorang marxis. Dengan merujuk pada figur seorang pahlawan Hatta yang mempelajari Marxisme namun tetap berprinsip kepada ajaran Islam. Hal ini terbukti pada ujaran Karl Marx yaitu "Yang saya tahu, saya bukan seorang Marxis". Karena itu penulis menganggap bahwa Marxisme tidak sama dengan ajaran Marx.

Di awal buku ini pun dijelaskan beberapa alasan yang melatarbelakangi penulis dalam membahas tentang peta pemikiran Marx. Pertama, ajaran Karl Marx menawarkan janji penyelamatan sosial. Kedua, hampir setiap aktivitas manusia modern berada dalam lingkup dan bahasan dari pola gagasan marx. Ketiga, ajaran Marx tidak pernah usang untuk dibicarakan karena sesuai dengan realita dan perubahan zaman. Keempat, penulis merasakan ketika kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, sedikit sekali kesempatan untuk mempelajari pemikiran Marx secara luas.

Sekilas tentang buku ini dijelaskan bahwa pada hakekatnya yang membuat manusia menjadi homo humanis adalah kerja. Dengan bekerja manusia mencapai kenyataan sepenuh-penuhnya dan dalam aktivitas bekerja pula manusia mengadakan diri tidak seperti dalam keadaan kesadaran secara intelektual, melainkan secara berkarya nyata, sehingga ia memandang dirinya sendiri dalam dunia yang diciptakan sendiri. Marx mencitrakan manusia ke dalam posisi emansipatoris, hal demikian berarti ia menghilangkan segala sesuatu yang menghalang-halangi manusia secara positif menghumanisasikan manusia. Untuk mencapai kodratnya sebagai makhluk tertinggi maka kondisi objektif dari keadaan materi manusia harus tetap menjadi faktor dominan berhadapan dengan kesadaran. Selain itu, buku ini juga mengupas habis tentang riwayat hidup Karl Marx pada awal lahirnya tahun 1818 sampai terciptanya filsafat Materialisme Historis. Materialisme Historis adalah penafsiran sejarah dari sudut ekonomi. Marx bertumpu pada dalil bahwa produksi dan distribusi barang dan jasa merupakan dasar untuk membantu manusia mengembangkan eksistensinya. Marx juga menyatakan bahwa riwayat pada setiap masyarakat adalah sejarah pertentangan kelas. Konsep pertentangan kelas merupakan pokok soal yang diturunkan dari cara produksi dan hubungan produksi yang timpang dalam masyaraka

Dalam buku ini, pemakaian bahasa yang digunakan penyair adalah bebas yang terikat. Jelasnya, seorang penyair masih diijinkan oleh masyarakat pemakai bahasa untuk bebas berekspresi selama penyimpangan dan permainan bahasa yang dilakukannya masih dalam rangka pencapaian efek estetis disertai teknik penyajiannya yang sistematis dan bertahan dari awal sampai akhir membuat buku ini semakin menarik. Penulis dalam buku ini mengajak pembaca untuk menemukan dan menarik manfaat kandungan atau amanat yang tersembunyi di balik pemikiran Karl Marx dengan cara melakukan beberapa pendekatan bagaimana Karl Marx merenung, menafsirkan, dan menghayati realitas sosial.

Moral – Filosofis dalam “Cintapuccino”

Sebuah novel chicklit yang merupakan singkatan dari chick literature yang mempunyai arti bacaan khusus tentang kehidupan perempuan ini mencoba dituangkan oleh Icha Rahmanti, seorang sarjana teknik arsitektur jebolan ITB dalam gaya Indonesia. Novel chiklit yang rata-rata identik dengan bacaan luar ini mulai digarap habis oleh Icha Rahmanti sebagai representasi di dunia internasional nantinya.

Novel chicklit lebih mengarah pada kehidupan feminisme. Pendekatan feminisme didasari oleh persamaan gender. Beberapa yang dikemukakan dalam novel chicklit pandangannya akan di dominasi pria dalam penulisan sastra. Aspek kepengarangan yang berkait kuat dengan feminisme mengarah pada optimalisasi peran pengarang wanita termasuk dari sisi jumlah maupun kualitas karyanya.

Sebuah karya sastra prosa fiksi dapat dikatakan sebagai karya sastra yang ditulis berdasarkan pengalaman personal dan merefleksikan kehidupan. Bahasa mampu membangkitkan secara konkret sebuah pengalaman yang dirasakan oleh seseorang. Itulah sebabnya, pandangan realisme – ekspresif menunjukkan bahwa membaca prosa fiksi sebagai kebenaran moral yang diterima tanpa ragu merupakan suatu pelatihan kepatuhan. Sebuah kepatuhan merupakan salah satu bentuk kontrol sosial. Perbincangan sastra selalu menyinggung nilai-nilai kemanusiaan universal. Seperti konflik sosial, pelecehan sexual, perampasan hak, dll. Perbincangan prosa dalam kawasan ini akan menempatkan karya sastra dalam prespektif kritis dan objektif serta tidak meninggalkan nilai-nilai kultural.

Novel chicklit “Cintapuccino” memberikan gambaran kehidupan jaman sekarang. Yang sarat dengan pergaulan modern, meski tidak meninggalkan tataran budaya lama. Gambaran kompleks stereotip manusia pada jaman modern diwujudkan melalui tokoh-tokoh dan berbagai dialognya. Dibuka dengan sebuah keluarga besar Sunda yang gemar ngariung (kumpul-kumpul) sedang melakukan tradisi bermain Kartu Monyet. Yang kemudian pelan-pelan mulai membicarakan tentang realita kehidupan jaman modern. Mulai tata cara berpakaian, pembagian kerja, dan penggunaan bahasa pada saat berbicara. Hal itu telihat dalam cuplikan:

“Seperti biasa di kubuku adalah gank cewek-cewek yang oleh para tetua disebut Gank Cewek Gaul. Males banget nggak sih? Sebetulnya mereka berbaik hati memakai kata “gaul” untuk memperhalus kata “bandel”. Kami satu gank ini perokok berat. Status yang baru saja “dilegalkan” setelah aku dan Alin kuliah, dengan alasan “kami-sudah-bisa-cari-duit-sendiri-dengan-kerja-magang-
dan-kami-cuma-generasi-penerus” itu selalu berhasil. Semasa hidup Uyud (ibu nenekku), beliau kerap bercerita betapa khawatirnya dulu beliau melihat kelakuan mamaku dan Ua-Ua yang lain - semasa mereka muda dulu sebagai ‘generasi bunga’- ada banyak bukti kalau mereka berlima dulu adalah ‘party girl’ keluarga besar kami dengan rok mikro mini, dan rambut dibuat kribo serta sandal setebal ulekan cabe, dan tentunya rokok... So it’s genetic!” (halaman 2)

Dari cuplikan di atas, terlihat dalam konteks hubungan antar tokoh menciptakan beberapa konflik yang pelan-pelan dijelaskan dalam beberapa bab yang saling terkait. Konfliks batin yang dirasakan Ami (tokoh utama) terhadap Nimo juga menjadi inti cerita ini. Walaupun akhirnya Ami memenangkan khayalannya akan tetapi perpisahan dengan Raka menimbulkan suatu konflik batin sendiri yang dirasakan oleh Ami.

Dalam novel chicklit ini dijelaskan bahwa lika-liku cinta itu tidak segampang yang kita kira. Kadang kala kita harus menentukan suatu pilihan disaat yang tidak tepat. Perselisihan yang Raka dan Nimo alami untuk memenangkan hati Ami juga menjadi suatu warna tersendiri dalam novel chicklit garapan Icha Rahmanti ini.

Pesan moral yang disampaikan dalam cerita ini tak jauh beda dengan pesan yang sering kita dapat dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa sebuah khayalan yang kita buat, belum tentu baik pada kita. Meskipun pada akhirnya kita harus terpaksa meninggalkan orang yang benar-benar mau berkorban untuk kita demi bersama dengan orang yang kita cintai. Karena cinta adalah segala-galanya. Saat bersama orang yang kita cintai, segala kekurangan menjadi suatu kelebihan yang berarti.